Kolaborasi Dosen-Penulis Nasional, Mahasiswa UIN Ar-Raniry Terbitkan Buku “1 Kota 5 Agama di Aceh
![]() |
Oleh: Mallikatul Hanin Azhari |
Jika Grose dan Hubbard (1998) menulis buku “Tiga Agama Satu Tuhan”, maka kali ini (2025) terdapat mahasiswa Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Ar-Raniry, Agamna Azka, berkolaborasi dengan dosennya Hasan Basri M. Nur, serta penulis nasional, Murizah Hamzah, meneliti dan menulis sebuah buku berjudul “1 Kota 5 Agama di Aceh”.
Sedikitnya terdapat tiga daya tarik pada buku 1 Kota 5 Agama. Pertama, Aceh kerap dianggap (framing) sebagai daerah intoleran di Indonesia.
Pandangan ini turut diperkuat oleh hasil penelitian terakhir dari Setara Institute (2023), yang menempatkan beberapa kota di Aceh, termasuk Banda Aceh, sebagai wilayah dengan indeks kerukunan umat beragama terendah, yakni berada di peringkat 92 dari 98 kota di Indonesia. (Baca: Atlet Muslim Barongsai, Cheizzhiya Azilla Camilin: Bukti Toleransi & Keharmonisan Antaragama di Aceh, https://aceh.tribunnews.com/2024/09/18/atlet-muslim-barongsai-cheizzhiya-azilla-camilin-bukti-toleransi-keharmonisan-antaragama-di-aceh).
Kedua, buku ini diberi sambutan dan kata pengantar oleh dua ilmuwan besar Indonesia, yaitu Prof. Dr. Moch Nur Ichwan (Direktur Pascasarjana UIN Yogyakarta) dan Prof. Dr. Eka Srimulyani (Direktur Pascasarjana UIN Ar-Raniry). Ini menunjukkan buku ini penting untuk dibaca.
Ketiga, mahasiswa Prodi KPI UIN terlibat dalam kegiatan penelitian, penulisan dan penerbitan buku yang akan diedarkan secara nasional melalui toko buku dan online.
Selama ini, jangankan menulis buku level nasional, untuk menulis makalah sebagai tugas di kelas saja, mahasiswa banyak yang mengeluh. Agamna, mahasiswa Prodi KPI UIN Ar-Raniry, memiliki menjadi penulis buku jauh sebelum dia ikut wisuda.
Langkah Tak Terduga
Menulis buku bukan hanya soal menuangkan kata-kata di atas kertas. Teradang ia menjadi jembatan antarkeyakinan, ruang dialog, dan jalan sunyi pencarian makna. Itulah yang dialami dalam proses penulisan buku "1 Kota 5 Agama".
Dua bulan sebelum perhelatan akbar Pekan Olahraga Nasional (PON) digelar di Aceh, sebuah tawaran datang kepada Agamna Azka. Tawaran yang tidak biasa, karena bukan berkaitan dengan olahraga, melainkan dunia literasi.
Ia diminta untuk berkoloborasi menulis sebuah buku yang mengangkat tema keberagaman dan toleransi antarumat beragama di Aceh.
Tawaran itu datang dari dua tokoh penting di dunia kepenulisan dan akademik yaitu Murizal Hamzah, penulis nasional, dan Hasan Basri M Nur PhD, dosen Prodi KPI FDK UIN Ar-Raniry.
Baik Murizal maupun Hasan Basri M Nur melihat potensi serta ketekunan pada diri Agamna dalam menulis, sehingga mempercayakannya untuk terlibat dalam penulisan buku tersebut. Agamna pun menyambut tawaran itu dengan penuh antusiasme. Agamna juga beberapa menulis di media Serambi Indonesia.
“Ini adalah hal yang sangat luar biasa bagi saya, sebagai penulis pemula, bisa berkontribusi dalam penulisan buku bersama penulis nasional Bang MH (Murizal Hamzah, red) dan dosen saya, Bapak HBN (Hasan Basri M. Nur, red),” kata Agamna saat kami wawancarai di kampus.
Semangat Menulis Menggebu
Semangat dalam menulis kian tumbuh. Ia menyadari bahwa penulisan ini bukan hanya tentang menulis buku, tapi juga tentang merawat sejarah dan menjembatani perbedaan.
Dalam proses penulisan, Agamna banyak melakukan wawancara dengan para tokoh lintas agama di Banda Aceh. Menemui orang-orang penting dan melakukan wawancara menjadi batu loncatan baginya dalam merintis jalan sebagai peneliti dan penulis.
Ia menyambangi kantor Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Aceh untuk bertemu dengan para pembimas dari agama non-Islam, seperti Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.
Ia juga mendatangi dan melakukan observasi rumah-rumah ibadah Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha yang ada di Banda Aceh. Tidak hanya itu, Agamna juga mengukur jarak antar tempat ibadah lintas agama tersebut.
Dari observasi dan pertemuan-pertemuan tersebut, ia memperoleh berbagai informasi penting yang menjadi bahan utama dalam penulisan buku.
Rasa Kekeluargaan Menguat
Salah satu hal paling membekas bagi Agamna adalah pengalaman bertemu dengan para pemeluk agama lain. Bukan hanya wawancara formal, namun juga interaksi emosional yang menghangatkan hati. Ia mengenang beberapa pertemuannya dengan tokoh lintas agama dan pembimas-pembimas.
“Saya masih sangat ingat saat pertama kali bertemu dengan para pembimas di Kantor Kemenag Aceh. Waktu itu, saya disambut oleh empat pembimas dari agama non-Muslim: Hindu, Buddha, Katolik, dan Protestan, lengkap dengan secangkir kopi. Sambil menyeruput kopi, suasana wawancara berlangsung begitu hangat dan harmonis,” kenang Agamna.
“Salah satu pembimas bahkan sempat berkata sambil tertawa, ‘Di meja ini sedang ada satu meja lima agama,’” tambahnya.
Menurutnya, ada nilai pemulia jamee sebuah filosofi Aceh yang menghormati tamu yang sangat terasa dalam interaksi tersebut. “Walau beda agama, sifat pemulia jamee itu ada,” kata Agamna.
Buku ini akhirnya bukan sekadar dokumentasi, melainkan juga refleksi akan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Aceh yang sering dipersepsikan eksklusif karena statusnya sebagai daerah bersyariat Islam.
Kenyataannya, banyak hal yang menunjukkan toleransi nyata. Seperti adanya seorang Muslim yang bekerja di vihara dan bahkan disediakan ruang salat, atau anak-anak Kristen yang bisa bersekolah di sekolah berbasis Islam.
Menjaga Sejarah Minoritas
Agamna menegaskan bahwa buku ini sangat penting sebagai upaya menjaga sejarah kehadiran umat beragama di Banda Aceh.
“Saat ini populasi umat Hindu sangat sedikit, menurut data ada sekitar 6 kk. Kalau nanti umat Hindu misalnya makin sedikit, setidaknya sejarah mereka tidak hilang. Masih ada di buku ini,” ujarnya.
Salah satu temuan menarik dalam proses penulisan buku “1 Kota 5 Agama di Aceh” adalah mengenai Vihara Maitri. Vihara ini merupakan salah satu yang tertua milik umat Buddha di Banda Aceh.
Namun, karena lokasinya yang berada di lorong sempit, vihara tersebut jarang menjadi objek penelitian. Padahal, menurut Agamna, Vihara Maitri memiliki nilai historis yang tinggi.
Ia mengungkapkan bahwa sebelum dipindahkan ke lokasi yang sekarang, vihara tersebut dulunya terletak di kawasan yang kini menjadi salah satu pusat perdagangan terbesar di Kota Banda Aceh. Dengan kata lain, tempat yang kini ramai sebagai pusat ekonomi, dulunya adalah lokasi berdirinya sebuah vihara.
“Belum pernah ada yang menulis soal itu. Ini bagian dari sejarah yang terlupakan,” katanya.
Karena itu, penulisan buku ini juga memiliki misi memperkaya dan melengkapi narasi sejarah yang selama ini hanya hadir dalam bentuk jurnal atau berita.
Menurutnya, tanggapan dari para tokoh agama terhadap buku ini sangat positif. Mereka merasa diangkat, dihargai, dan mendapat ruang dalam sejarah Aceh.
“Mereka bilang buku ini bisa dikenalkan ke anak-anak mereka. Jadi semacam panduan dan pengingat sejarah agamanya (agama non-Muslim) bisa hadir di kota yang menerapkan syariat islam,” ungkap Agamna.
Pesan untuk Generasi Muda
Proses penulisan buku ini tentu tidak lepas dari tantangan. Waktu adalah hambatan terbesar, mengingat Agamna masih aktif sebagai mahasiswa dengan berbagai kegiatan kampus.
Namun demikian, ia tidak terlalu merasa kesulitan dalam hal menulis saat ini. Baginya, menulis sudah menjadi kebutuhan pokok, layaknya seperti makanan yang harus dikonsumsi setiap hari.
“Saya membiasakan menulis setiap hari, meskipun hanya beberapa kata, baik di keyboard komputer maupun di ponsel, entah itu tulisan berita maupun jenis tulisan lainnya,” jelasnya.
Untuk memperkaya wawasan dan menajamkan narasi tulisannya, Agamna juga membaca jurnal ilmiah dan berbagai berita terkini. Selain itu, dukungan dari keluarga menjadi salah satu sumber semangat utama dalam proses kreatifnya.
“Semangat menulis saya datang dari keluarga. Mereka sangat mendukung,” ujarnya.
Buku ini akan diterbitkan oleh Bandar Publishing yang berlokasi di Lamgugob, tepat di samping kantor camat Syiah Kuala.
Targetnya, buku ini akan terbit dalam waktu dekat dan akan menjadi awal dari lebih banyak buku yang akan ia tulis setelah menyelesaikan skripsinya.
“ISBN sudah ada, saat ini dalam proses layout,” ujar Agamna.
Pesan utama yang ingin disampaikan Agamna kepada para pembaca, khususnya generasi muda Aceh, adalah pentingnya memahami sejarah dan realitas keberagaman di daerahnya.
“Kehidupan sosial umat beragama di Aceh sebenarnya sangat toleran, tapi masih banyak kalangan yang kurang mengetahui hal itu. Selain itu, anak muda zaman sekarang juga minim pengetahuan tentang sejarah agama di Aceh. Buku ini bisa menjadi pembuka wawasan,” ujar Agamna.
Ia menambahkan, banyak pertanyaan logis yang muncul seputar keberadaan agama-agama lain di Aceh.
“Orang bertanya: Bagaimana kehidupan umat non-Muslim di Aceh? Apakah di Aceh tersedia gereja, kuil dan vihara? Apakah Syariat Islam berlaku bagi non-Muslim? Nah, buku ini memberi jawaban dari perspektif sejarah dan kemanusiaan.”
Dari sisi lembaga pendidikan, dukungan juga datang dari Kaprodi KPI, Pak Syahril Furqani, yang menyambut bangga karya ini. Ia menyatakan tidak semua mahasiswa KPI bisa menulis buku semasa kuliah, dan itu menjadi prestasi tersendiri.
Agamna menutup ceritanya dengan harapan besar. “Semoga buku ini bisa jadi warisan dan jembatan pemahaman. Aceh bukan tidak toleran, hanya sering disalahpahami. Kita punya sejarah panjang hidup berdampingan,” katanya.
Agamna adalah contoh mahasiswa yang menunjukkan bakatnya sejak duduk di bangku kuliah S1. Ia memanfaatkan dengan serius tawaran kerja sama dari dosennya dan penulis nasional.
Sejatinya mahasiswa memanfaatkan kesempatan dan peluang yang ada. Dosen, Prodi, Fakultas dan Universitas sejatinya memiliki agenda rutin untuk kegiatan yang melibatkan mahasiswa dalam proyek bersama sehingga lebih banyak mahasiswa yang memiliki kesempatan mengembangkan diri. Semoga!
Banda Aceh, 19 April 2025
Mallikatul Hanin Azhari
email: (mallikatulhanin@gmail.com)
Comments
Post a Comment